PESERTA DIDIK DAN PENDIDIK
A.
Peserta
Didik
Kajian tentang peserta
didik menyangkut beberapa hal diantaranya adalah kajian pengertian, peserta
didik sebagai persona, teori perkembangan peserta didik dalam beberapa aspek,
kecerdasan ganda.
1.
Pengertian
Peserta Didik
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang
berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pendidikan. Sosok peserta
didik umumnya merupakan sosok anak yang membutuhkan bantuan orang lain untuk
bisa tumbuh dan berkembang ke arah kedewasaan. Ia adalah sosok yang selalu
mengalami perkembangan sejak lahir sampai meninggal dengan perubahan –
perubahan yang terjadi secara wajar ( Sutari Imam Barnadib, 1995 ). Istilah
peserta didik pada pendidikan formal / sekolah jenjang dasar dan menengah,
dikenal dengan nama anak didik atau siswa ; pada pendidikan pondok pesantren
disebut santri, dan pada pendidikan keluarga disebut anak.
2.
Peserta
Didik sebagai Pesona
Pandangan modern tentang pendidikan dewasa ini
melihat peserta didik adalah subjek atau pesona, yakni makhluk yang mempribadi
tidak lagi sebagai objek yang non-pribadi sebagaimana pandangan para ahli pda
abad pertengahan. Ciri-ciri khas peserta didik yang perlu difahami oleh
pendidik sebagaimana dijelaskan oleh Umar Tirtaraharja dan La Sulo ( 1994 )
adalah bahwa peserta didik merupakan:
a. Individu
yang memiliki potensi fisik dan psikhis yang khas, sehingga merupakan insan yang
unik. Maksudnya ia sejak lahir telah memiliki potensi-potensi yang berbeda
dengan individu lain yang ingin dikembangkan dan diaktualisasikan.
b. Individu
yang sedang berkembang, yakni selalu ada perubahan dalam diri peserta didik
secara wajar baik yang ditujukan kepada diri sendiri maupun kearah penyesuaian
dengan lingkungan.
c. Individu
yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi. Maksudnya adalah
walaupun ia adalah makhluk yang berkembang punya potensi fisik dan psikhis
untuk bisa mandiri, namun karena belum dewasa maka ia membutuhkan bantuan dan
bimbingan dari pihak lain sesuai kodrat kemanusiaannya.
d. Individu
yang memiliki kemampuan untuk mandiri. Hal ini dikarenakan bahwa di dalam diri
anak ada kecenderungan untuk memerdekakan diri, sehingga mewajibkan bagi
pendidik dan orang tua untuk setapak demi setapak memberikan kebebasan kepada
anak dan pada akhirnya pendidik mengundurka diri.
Keempat ciri diatas merupakan
justifikasi indikasi keunikan peserta didik sebagai pesona yang
multidimensional. Aneka dimensi bisa menjelma pada diri peserta didik dalam
interaksinya dengan lingkungan alam natural dan lingkungan sosiokultural.
Dimensi individualitas pada diri peserta didik mewujud dalam kemandirian,
ketekuanan, kerja keras, keberanian, kepercayaan diri, keakuan, semangat dan
ambisi. Dimensi sosialitas pada diri peserta didik tampak pada sikap
kedermawaan, saling menolong, toleransi, kerjasama, suka berbagi dengan sesama,
berorganisasi, dan hidup bermasyarakat. Dimensi religiusitas pada diri peserta
didik kelihatan dalam perilaku ketaatan menjalankan ajaran agama, beribadah,
keyakinan akan adanya Tuhan, ketekunan, keikhlasan, kesediaan berdakwah, dan
kepasrahan atau tawakal. Dimensi historisitas tampak pada diri peserta didik
dalam kesenangan menyelidiki kisah-kisah kuno, kegemaran mencatat aneka
kejadian sejarah, kesadaran akan pentingnya sejarah, dan kemampuan mengkreasi
sejarah. Dimensi moralitas pada diri peserta didik kelihatan pada
pengetahuannya tentang nilai-nilai moralitas universal dan lokak, pengetahuan
tentang akibat-akibat yang ditimbulkan dari peilaku moral, kemampuan membedakan
antara perilaku moral baik dan buruk, kemampuan menjaga perilaku ketaatan moral
dan lain-lain.
Untuk memperkuat hakekat manusia sebagai
makhluk multidimensional, maka Notpnagoro ( Dirto Hadisusanto, Suryati Sidharto,
dan Dwi Siswoyo, 1995) menambahkan bahwa secara kodrati peserta didik merupakan
sosok manusia
yang memiliki aneka macam kodrat yaitu kedudukan kodrat, susuna kodrat, dan
sifat kodrat. Dari segi kedudukan kodrat, manusia bisa disebut sebagai makhluk
yang berdiri sendiri di satu sisi dan makhluk ber-Tuhan di sisi yang lain. Segi
susuna kodratnya, manusia merupakan makhluk yang tersusun atas jiwa dan raga.
Adapun dari segi sifat kodratnya, manusia merupakan makhluk individu di satu
sisi dan makhluk sosial di sisi yang lain.
3.
Pertumbuhan dan Perkembangan Peserta Didik
Istilah pertumbuhan pada diri peserta
didik diartikan sebagai bertambahnya tinggi badan, berat badan, semakin
efektifnya fungsi-fungsi otot tubuh dan organ fisik, organ panca indera,
kekekaran tubuh, dan lain-lain yang menyangkut kemajuan aspek fisik. Sedangkan
istilah perkembangan diartikan sebagai semakin optimalnya kemajuan aspek psikis
peserta didik seperti kemampuan cipta, rasa, karsa, karya, kematangan pribadi,
pengendalian emosi, kepekaan spiritualitas, keimanan dan ketaqwaan. Menurut
Hurlock (1992) perkembangan adalah serangkaian perubahan agresif yang terjadi
sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman.
Banyak teori dari para ahli yang
menjelaskan bagaimana proses dan pentahapan pertumbuhan dan perkembangan pada
peserta didik dimulai dari masa anak-anak sampai dewasa. Masing-masing tahap
merupakan masa peka peserta didik terhadap kebutuhan tertentu yang membutuhkan
perlakuan yang sesuai dari pendidik. Masa peka ini dikemukakan pertama kali
oleh Maria Montessori (E.M. Standing, 1988) dengan istilah “sensitive periods”.
Tugas pendidik adalah kewajiban mengenali masa peka yang ada pada diri peserta
didik yang kemudian memberikan pelayanan dan perlakuan yang tepat.
Tahap-tahap perkembangan yang mengandung
masa peka pada diri peserta didik tersebut telah banyak dikemukakan oleh
tokoh-tokoh seperti Aristotles, Kretschmer, Sigmund Freud, Jean Piaget, Johann
Amos Comenius, dan Jean Jaques Rousseau. Mereka telah mengemukakan gagasannya
bagaimana proses dan tahap-tahap perkembangan ada diri peserta didik. Dalam
bukunya Crowadn crow (Sutari Imam Barnadib,1995), kita mengenal beberapa usia
perkembangan, diantaranya adalah:
a. Usia
kronologis
b. Usia
kejasmanian
c. Usia
anatomis
d. Usia
kejiwaan
e. Usia
pengalaman
Charlotte Buhler mengemukakan bahwa
perkembangan yang etrjadi pada peserta didik berlangsung melalui tahap-tahap,
yaitu:
(a) Masa
permulaan
(b) Masa
penanjakan sampai kira-kira umur 25 tahun
(c) Masa
puncak masa hidup pada umur 25 sampai 50 tahun
(d) Masa
penurunan dan menarik diri dari kehidupan masyarakat
(e) Masa
akhir kehidupan.
Namun
oleh Buchler, meskipun kemunduran biologis nyata terjadi, tetapi belum dapat
ditentukan apakan juga ada kemunduran fungsi psikhisnya. Terhadap semua hal
yang telah digambarkan ada lima asas perkembangan pada diri peserta didik
menurut Sutari Imam Barnadib (1995):
a. Tubuhnya
selalu berkembang sehingga semakin lama semakin dapat menjadi alat untuk
menyatakan kepribadiannya.
b. Anak
dilahirkan dalam keadaan tidak berdaya, hal ini menyebabkan dia terikat kepada
pertolongan orang dewasa yang bertanggung jawab.
c. Anak
membutuhkan pertolongan dan perlindungan serta membutuhkan pendidikan untuk
kesejahteraan anak didik.
d. Anak
mempunyai daya berekspresi, yaitu kekuatan untuk menemukan hal-hal baru di
dalam lingkungannya dan menuntut pendidik untuk memberi kesempatan kepadanya.
e. Anak
mempunyai dorongan untuk mencapai emansipasi dengan orang lain.
Para
ahli terdahulu telah membuat teori peserta didik dengan orientasi beragam.
Teori yang berorientasi biologis secara klasik dikenal dengan penganut faham
nativisme, yakni faham yang menitikberatkan pada factor genotype. Perkembangan manusia dilihat sebagai
pemasakan organisme/ pemekaran dari master plan yang dibawa sejak lahir.
Kemudian muncul teori yang berorientasi pengalaman yang dikenal dengan
Empirisme. Teori lingkungan pengembangan dari faham empirisme adalah faham
naturalism yang intinya menyebut bahwa penentu perkembangan adalah alam.
Sedangkan teori yang merupakan gabungan dari kedua diatas adalah yang
berorientasi pada interaksi yaitu faham Interaksionisme yang dikenal juga
dengan teori convergency. Teori yang disebut terakhir memiliki anggapan bahwa
setiap tingkah laku merupakan hasil konvergensi factor bawaan dan factor
lingkungan. Berikut ini diuraikan lebih lengkap untuk masing-masing teori
sebagai berikut:
a.
Nativisme
Dipelopori oleh Schopenhauer (1788-1860)
yang berpendapat bahwa bayi manusia
sejak lahir sudah dikarunia oleh bekal bakat-bakat dan potensi baik serta
buruk. Pengaruh dari factor eksternal dianggap tidak akan mempengaruhi. Menurut
teori ini, anak yang sudah membawa potensi jahat nantinya akan menjadi manusia
jahat, sebaliknya anak akan membawa potensi baik akan menjadi baik pula. Oleh
karena itu, yang akan menentukan pertumbuhan dan perkembangan manusia adalah
factor dari dalam yaitu potensi baik buruk tersebut, sedangkan factor luar
berupa pengalaman dari lingkungan tidak akan mmepengaruhi pertumbuhan dan
perkembangannya. Istilah Nativisme berasal dari kata native yang berarti adalah
terlahir. Yaitu terlahir dengan bekal tertentu yang berupa aneka potensi. Sehingga
teori nativisme merupakan teori yang menganggap bahwa pertumbuhn dan
perkembangan individu semata-mata ditentukan oleh factor pembayaannyayaitu
aneka potensi.
b. Empirisme
Teori empirisme bertolak dari tradisi
Lockean yang lebih mementingkan stimulasi eksternal dalam perkembangan manusia
termasuk dalam proses pendidikan.Teori yang dipelopori oleh John Locke ini
berpendapat bahwa perkembangan anak tergantung dari pengalamannya,sedangkan
pembawaannya tidak penting.John Locke merintis aliran baru yang dikenal dengan
teori “Tabula Rasa” yang beranggapan bahwa anak terlahir kedunia bagaikan
kertas putih.Istilah lain dari aliran empirisme adalah environmentalisme,sebab
aliran ini menekankan pengalaman empiris yang berupa rangsangan-rangsangan yang
berasal dari lingkungan (environtmen).
Teori ini oleh pemikir-pemikir
berikutnya banyak dikritik dan dikoreksi,karena teori ini dianggap berat
sebelah yang hanya mementingkan faktor pengalaman semata tanpa memperhatikan
faktor bakat individu.Beberapa tokoh yang mengoreksi teori empirisme namun
masih mengikuti prinsip teori ini bahwa manusia adalah mahluk yang pasif dan
dapat dimanipulasi melalui modifikasi tingkah laku adalah B.F.Skinner,Ivan
Pavlov,Thorndike,dan J.B Watson. Pandangan yang menekankan peranan stimulus
(rangsangan) terhadap perilaku seperti “Classical conditioning” atau “respon
learning” oleh Pavlov (1849-1936) di Rusia dan Watson (1878-1958) di Amerika
Serikat.
c. Naturalisme
Teori ini hamper sama dengan aliran
nativisme diatas,karena keduanya sama-sama berasumsi bahwa anak terlahir sudah
memiliki pembawaan.Teori Naturalisme dipelopori oleh Jean Jaques Rousseau
(1712-1778) yang berpendapat bahwa anak sejak lahir sudah membawa potensi
baik.Adapun akhirnya ia menjadi jahat disebabkan oleh pengaruh-pengaruh negatif
dari masyarakat yang sudah rusak atau jahat.
Agar anak tetap menjadi baik dan tidak
berubah menjadi jahat,maka anak tersebut sejak kecil harus dipisahkan dari
pengaruh masyarakat.Karena masyarakat pada dasarnya sudah berubah menjadi
berwatak jahat,bobrok,sarang dari banyak kriminalitas,korupsi dan lain
lain.Oleh karena itu supaya anak tidak terpengaruh dengan semua kejelekan
itu,maka anak harus dijauhkan dari masyarakat.Akibat pandangan yang begitulah
maka aliran naturalismedari J.J Rousseau ini juga dikenal dengan teori
Negativisme.
d.
Konvergensi
Teori ini mencoba mensintesiskan
teori-teori yang telah disebut diatas.Teori yang dipelopori oleh Willian Stern
(1871-1939) ini beranggapan bahwa pertumbuhan dan perkembangan individu
disamping dipengaruhi oleh fakto-faktor internal yaitu potensi yang dibawa
sejak lahir juga dipengaruhi oleh pengalaman. Faktor internal (sebagaimana
dijelaskan oleh Nativisme dan Naturalisme) serta faktor eksternal (sebagaiman
dituturkan oleh Empirisme) sama-sama memperoleh peranan penting dalam
pertumbuhan dan perkembangan anak.
Teori ini disebut sebagai teori
konvergensi dikarenakan menggabungkan aliran-aliran sebelumnya menjadi memusat
kesatu titik (konvergen).Oleh karena itu,implikasi dari teori ini adalah : (1)
pendidikan mungkin dilaksanakan (2) pendidikan diartikan sebagai pertolongan
yang diberikan lingkungan kepada anak didik untuk mengembangkan potensi yang
baik dan mencegah potensi yang buruk atau kurang baik (3) yang membatasi
pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan.
Jean Piaget mengembangkan teori
interaksi dengan penjelasan sebagaimana gambar berikut :
F.G
(Faktor Genetik),F.L (Faktor Lingkungan), P (Person atau Pribadi)
Gambar
-2 : Dinamika Perkembangan Anak
Dalam hal ini
Piaget ingin menjelaskan pribadi anak/peserta didik yang semula masih belum
berkembang dengan dilambangkan F.G. kemudian mengalami perkembangan menjadi
yang lebih baik yang dilambangkan dengan P1,P2,P3 dan seterusnya setelah secara
terus menerus berinteraksi dengan lingkungan yang dilambangkan dengan F.L.
Variasi
pemikiran dalam teori interaksi adalah munculnya teori Norm of Reaction.Menurut Hirsch,tokoh pemikir teori
ini,bahwa genotype merupakan bagian sifat bawaan yang potensial dan tidak
langsung kelihatan.Ia merupakan rentang potensi (range of potensial
outcomes).Genotype dapat berkembang tergantung dari faktor lingkungan
(environment) dan saat tepat (timing) terjadinya interaksi antara
keduanya.Genetik menentukan batas sosial seseorang.Adapun hasil perkembangan
seseorang dapat bergerak kearah batas atas atau batas bawah.Tokoh teori
konvergensi yang bernama William Stern menyebut teori ini dengan istilah rubber
band hypothesis.
Pada bagian lain
tokoh lain seperti Lerner dan Spanier menyebut bahwa perkembangan yang dialami
oleh peserta didik sebagai interaksi dinamis antara empat bidang yaitu:
historis,biologis,psikologis, dan sosiokultural. Sedangkan Bandura menyebut
perkembangan tersebut merupakan hasil interaksi dinamis antara tiga bidang yang
mencakup : B (behavior), E (environment), dan P (Person).
Menyimak
argumentasi dari teori konvergensi dengan pengembangannya inilah,dalam dunia
pendidikan teori ini telah dianut oleh banyak kalangan. Serta berangkat dari
teori ini akhirnya banyak muncul variasi-variasi strategi dalam pelaksanaan
pendidikan dan pembelajaran. Seperti yang dijelaskan oleh Umar Tirtarahardja
dan La Sulo (1994) aneka variasi strategi tersebut dikenal dengan nama strategi
fenomenologis,strqategi behavioral,dan strategi psikodinamik.
4. Teori Perkembangan Fisik Peserta Didik
Teori
perkembangan fisik peserta didik dikemukakan oleh Gasell dan Ames (1940) serta
Illingsworth (1983). Perkembangan fisik mencakup berat
badan,tinggi badan,termasuk perkembangan motorik. Dalam pendidikan,pengembangan
fisik anak mencakup pengembangan : kekuatan (strength),ketahanan
(endurance),kecepatan (speed),kecekatan (agility),dan keseimbangan (balance).
Menurut Gasell
dan Ames (1940) serta Illingsworth (1983)yang dikutip oleh Slamet Suyanto
(2005),perkembangan motorik peserta didik pada usia dini mengikuti delapan pola
umum sebagai berikut :
a. Continuity
(keberlanjutan),yakni suatu perkembangan yang dimulai dari yang sederhana
kearah yang lebih kompleks sejalan dengan bertambahnya usia anak.
b. Uniform sequence
(kesamaan tahapan),yakni suatu perkembangan yang memiliki tahapan sama untuk
semua anak,meskipun kecepatan tiap anak untuk mencapai tahapan tersebuit
berbeda.
c. Maturity
(kematangan),yakni suatu perkembangan yang ada pada peserta didik yang dipengaruhi
oleh perkembangan sel syaraf.Semua sel syaraf telah terbentuk semenjak anak
lahir meskipun proses mielinasinya masih terus berlangsung sampai beberapa
tahun kemudian.
d. Form general to
specific process (proses dari umum ke khusus),yakni suatu perkembangan yang
dimulai dari gerak yang bersifat umum kepada gerak yang bersifat khusus.Gerakan
secara menyeluruh dari badan terjadi terlebih dahulu baru kemudian gerakan
bagian-bagiannya.Hal ini dikarenakan otot-otot besar (gress muscles) berkembang
lebih dahulu daripada otot-otot halus (fine muscles).
e. Dari gerak refleks
bawaan kearah terkoordinasi,yakni suatu perkembangan yang dimiliki peserta
didik yang dimulai dari gerak refleks bawaan yang dibawa sejak lahir kedunia
kepada aneka gerak yang terkoordinasi dan bertujuan.
f. Chepalo-caudal
direction,yakni suatu perkembangan yang ditandai dengan bagian yang mendekati
kepala berkembang lebih cepat daripada bagian yang mendekati ekor.Otot pada
leher berkembang lebih dahulu daripada otot kaki.
g. Proximo-distal,yakni
suatu perkembangan yang ditandai dengan bagian yang mendekati sumbu tubuh
berkembang lebih dahulu daripada yang lebih jauh.
h. From bilateral to
crosslateral coordinate,yakni suatu perkembangan yang dimulai dari koordinasi
organ yang sama berekembang lebih dahulu sebelum bisa melakukan koordinasi
organ bersilangan.
5.
Teori Perkembangan Biologis Peserta Didik
Teori perkembangan biologis peserta
didik banyak dikemukakan oleh para ahli seperti Aristoteles, Kretschmer, dan
Sigmund Freud. Kalau Aristoteles dan Kretschmer dalam melihat perkembangan
peserta didik lebih pada tahap-tahap perkembangan fisik, tetapi Sigmund Freud
lebih melihat pengaruh perkembangan fisik terhadap tahap-tahap perubahan
perilaku libido seksual (psikoseksual)
Perkembangan peserta didikmenurut
Sigmund Freud (Dirto Hadisusanto, Suryati Sidharto, dan Dwi Siswoyo, 1995)
dimulai dari sejak lahir sampai kira-kira umur 5 tahun melewati fase yang
terdiferensiasi secara dinamik. Selanjutnya berkembang sampai umur 12 atau 13
tahun mengalami masa stabil yaitu fase laten. Dinamika mulai bergejolak lagi
ketika masa pubertas datang sampai berumur 20 tahun, kemudian berlanjut pada
masa kematangan. Secara lebih jelas dapat dicermati lebih lengkap sebagai
berikut :
Umur
(tahun)
|
Fase
perkembangan
|
Perubahan perilaku
|
0,0 - 1,0
|
Masa oral
|
Mulut
merupakan daerah poko aktivitas dinamik
|
1,0 - 3,0
|
Masa anal
|
Dorongan
dan tahanan berpusat pada fungsi pembuangan kotoran
|
3,0 - 5,0
|
Masa felis
|
Alat
kelamin merupakan daerah organ terpenting
|
5,0 - 13,0
|
Masa laten
|
Impuls-impuls
atau dorongan-dorongan cenderung terdesak dan menghadap ke dalam bawah sadar
|
13,0 - 20,0
|
Masa pubertas
|
Impuls-impuls
mulai menonjol dan muncul kembali. Apabila bisa dipindahkan dan
disublimasikan oleh das ich dengan baik, maka ia bisa sampai pada masa
kematangan
|
20,0 ke atas
|
Masa genital
|
Individu
yang sudah mencapai fase ini telah menjadi manusia dewasa dan siap terjun
dalam kehidupan masyarakat luas
|
Gambar-3 : tahap perkembangan peserta
didik menurut Sigmund freud
6.
Teori Perkembangan Intelektual Peserta Didik
Salah satu teori atau pandangan yang
sangat terkenal berkaitan dengan perkembangan intelektual atau teori
perkembangan kognitif peserta didik adalah Jean Piaget (1896-1980).
Piaget adalah seorang tokoh yang amat
penting dalam bidang psikologi perkembangan. Teori-teorinya dalam psikologi
perkembangan yang mengutamakan unsur kesadaran (kognitif) masih dianut oleh
banyak orang sampai sekarang. Aneka teori, metode dan bidang penelitian yang
dilakukan piaget dianggap sangat orisinil, tidak sekedar melanjutkan hal-hal
yang sudah lebih dulu ditemukan orang lain.
Dalam teori perkembangan intelektual,
Piaget mengemukakan tahap-tahap yang harus dilalui seorang anak dalam mencapai
tingkatan perkembangan proses berpikir formal. Teori ini tidak hanya diterima
secara luas dalam bidang psikologi tetapi juga sangat besar pengaruhnya di
bidang pendidikan. Menurut teori ini, perkembangan intelektual peserta didik
melaui tahap-tahap, setiap tahap perkembangan dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu
dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor
peserta didik berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988).
Menurut jean piaget (Dahar, 1989) bahwa pengetahuan yang didapat oleh peserta
didik dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi dan akomodasi. Proses
asimilasi adalah proses yang dilakukan peserta didik dengan cara menyerap
informasi baru dalam pikirannya. Sedangkan, proses akomodasi adalah proses yang
dilakukan peserta didik dengan cara menyusun kembali struktur pikiran karena
adanya informasi baru, sehingga informasi tersesbut mempunyai tempat dalam
struktur pikiran(Ruffendi, 1988).
Menurut jean piaget, perkembangan
intelektual peserta didik berlangsung dalam emat tahap, yaitu : (a) tahap
sensori motor, (b) tahap pra-operasional, (c) tahap operasional kongkrit, dan
(d) tahap operasional formal. Hal ini dapat dicermati lebih lengkap sebagai
berikut :
Umur (Tahun)
|
Fase Perkembangan
|
Perubahan perilaku
|
0,0
– 2,0
|
Tahap
sensori motor
|
Kemampuan berfikir pserta didik baru
melalui gerakan atau perbuatan. Perkembangan panca indra sangat berpengaruh
dalam diri mereka. Keinginan terbesarnya adalah keinginan untuk
menyentuh/memegang, karena didorong oleh keinginan untuk mengetahui reaksi
dari perbuatannya. Pada usia ini mereka belum mengerti akan motivasi dan
senjata terbesarnya adalah ‘menangis’. Memberi pengetahuan pada mereka pada
usia ini tidak dapat hanya sekedar menggunakan gambar sebagai alat peraga,
melainkan harus dengan sesuatu yang bergerak.
|
2,0
– 7,0
|
Tahap
pra-operasional
|
Kemampuan skema kognitif masih
terbatas, suka meniru perilaku orang lain, terutama meniru perilaku orang tua
dan guru yang pernah ia lihat ketika orang itu merespons terhadap perilaku
orang, keadaan, dan kejadian yang dihadapi pada masa lampau. Mulai mampu
menggunakan kata-kata yang benar dan mampu pula mengekspresikan kalimat
pendek secara efektif.
|
7,0
– 11,0
|
Tahap
operasional kongkrit
|
Peserta didik sudah mulai memahami
aspek-aspek kumulatif materi, misalnya volume dan jumlah; mempunyai kemampuan
memahami cara mengkombinasikan beberapa golongan benda yang tingkatnya
bervariasi. Sudah mampu brpikir sistematis mengenai benda-benda dan
peristiwa-peristiwa yang konkret.
|
11,0
-14,0
|
Tahap
operasional formal
|
Telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan
dua ragam kemampuan kognitif, secara serentak maupun berurutan. Misalnya
kapasitas merumuskan hipotesis dan menggunakan prinsip-prinsip abstrak.
Dengan kapasitas merumuskan hipotesis peserta didik mampu berpikir memecahkan
masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan.
Sedang dengan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak, peserta didik
akan mampu mempelajari materi pelajarannya yang abstrak seperti agama,
matematika, dan lainnya
|
Berdasarkan teori perkembangan dari jean
piaget tersebut, dapat diketahui 3 dalil pokok piaget dalam kaitannya dengan
tahap erkembangan intelektual. Ruffendi (1988) menyebutkan sebagai berikut :
1. Bahwa
perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu
terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami
urutan tersebut dan dengan urutan yang sama.
2. Bahwa
tahap-tahap perkembangan didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi
mental(pengurutan, pengekalan, pengelompokkan, pembuatan hipotesis dan
penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual.
3. Bahwa
gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang
menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur
kognitif yang timbul (akomodasi).
7.
Teori Perkembangan Sosial Peserta Didik
Salah
seorang tokok psikologi perkembangan yang merumuskan teori perkembangan sosial
peserta didik adalah Erik Homburger Erickson yang lahir di Frankfurt, Jerman
pada tahun 1902. Erikson belajar psikologi pada Anna Freud di Vienna
Psycholoanalytic Institute selama kurun waktu 1927-1933. Pada tahun 1933
Erickson pindah ke Denmark dan di sana ia mendirikan pusat pelatihan
psikoanalisa. Pada tahun 1939 ia pindah ke Amerika Serikat dan menjadi warga
negara tersebut, dimana ia sempat mengajar di beberapa universitas terkenal
seperti Harvard, Yale, dan University of California di Berkley.
Beberapa
buku yang pernah ditulis oleh Erickson dan mendapat sambutan luar biasa dari
masyarakat, diantaranya adalah (1) Young Man Luther: A Study in Psychoanalysis
and History (1958), (2) Insight and Responsibility (1954), dan Identity: Youth
and Crisis (1968). Berikut ini teori perkembangan sosial menurut Erickson yang
tergambar pada tahap-tahap perkembangan anak sebagai berikut:
Umur
(Tahun)
|
Fase Perkembangan
|
Perubahan
Perilaku
|
0,0 – 1,0
|
Trust vs Mistrust
|
Tahap pertama adalah tahap pengembangan rasa percaya
diri kepada orang lain.
|
2,0 – 3,0
|
Autonomy vs Shame
|
Tahap ini bisa dikatakan sebgai masa pemberontakan anak
atau masa nakalnya. Pada masa ini anak sedang mengembangkan kemampuan motorik
(fisik) dan mental (kognitif). Pada saat ini anak mudah terpengaruh oleh
orang-orang penting di sekitarnya.
|
4,0 – 5,0
|
Inisiaive vs Guilt
|
Mereka banyak bertanya dalam segala hal, sehingga
terkesan cerewet. Mereka juga mengalami perkembangan inisiatif/ide, sampai
pada hal-hal yang berbau fantasi. Perkembangan lain yang harus tercipta
adalah perkembangan diri terutama yang berhubungan dengan jenis kelamin. Fase
ini menjadi penting karena umumnya anak mulai merasakan secara psikologis
penaruh dari jenis kelaminnya. Anak laki-laki cenderung lebih sayang kepada
ibu dan anak perempuan cenderung lebihsayang kepada ayah.
|
6,0 – 11,0
|
Industry vs Interiority
|
Mereka sudah bisa mengerjakan tugas-tugas sekolah dan
termotivasi untuk belajar. Namun masih memiliki kecenderungan untuk kurang
hati-hati dan menuntut perhatian.
|
12,0 – 18/20
|
Ego-identity vs Role on
fusion
|
Manusia mencari identitas dirinya. Anak yang sudah
beranjak menjadi remaja mulai ingin tampil memegang peran-peran sosial di
masyarakat. Namun masih belum bisa mengatur dan memisahkan tugas dalam peran
yang berbeda.
|
18/19 – 30
|
Intimacy vs Isolation
|
Manusia sudah mulai siap menjalin hubungan yang intim
dengan orag lain, membangun bahtera rumah tangga bersama calon pilihannya.
|
31 – 60
|
Generativity vs stagnation
|
Tahap ini ditandai denga munculnya kepedulian yang
tulus terhadap sesama.
|
60 ke atas
|
Ego Integrity vs Putus asa
|
Manusia mulai mengembangkan integritas dirinya.
|
8.
Teori Perkembangan Mental Peserta Didik
Lev
Vygotsky salah satu tokoh pencetus teori perkembangan mental peserta didik.
Pendapatnya hampir sama seperti Jean Piaget, bahwa siswa membentuk pengetahuan,
yaitu apa yang diketahui siswa bukanlah hasil kopi dari apa yang mereka temukan
di dalam lingkungan, tetapi sebgai hasil dari pikiran dan kegiatan siswa
sendiri melalui bahasa.
Sumbangan
penting yang diberikan Vygotsky dalam pembelajaran adalah konsep zone of
proximal development (ZPD) dan scaffolding. Vygotsky yakin bahwa pembelajaran
terjadi apabila anak bekerja atau menangani tugas-tugas yang belum dipelajari
namun tugas-tugas itu berada dalam jangkauan kemampuannya. ZPD adalah tingkat
perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan seseorang saat ini. Vygotsky
lebih yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam
kerjasama atau kerjasama antar individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi
terserap ke dalm individu tersebut (Slavin, 1994).
Sedangkan
konsep scaffolding berari memberikan kepada siswa sjumlah besar bantuan selama
tahap-tahap awal pembelajaran.,kemudian mengurangi bantuan tersebut dan
memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tangung jawab yang
semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1995).
Ada
dua implikasi utama teori Vigotsky dalam pendidikan (Howe and Jones, 1993).
Pertama, perlunya tatanan kelas dan bentuk pembelajaran kooperatif antar siswa,
sehingga siswa dapat berinteraksi di sekitar tugas-tugas yang sulit da saling
memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam
masing-masing ZPD mereka. Kedua, Pendekatan Vigotsky dalam pengajaran
menekankan scaffolding, yakni dengan semakin lama siswa belajar akan semakin
bertanggungjawab terhadap pembelajaran sendiri. Jadi menurut Vigotsky siswa
perlu belajar dan bekerja secara kelompok sehingga siswa dapat saling
berinteraksi dengan lainnya disertai adanya bantuan guru terhadap para siswa
tersebut dalam kegiatan pembelajaran.