Halo Semuanya.. Selamat datang dan terimakasih atas kunjungannya di blog saya. Jika Kalian berkenan dengan tulisan ini, silahkan kalian bisa "like" atau "share/kirim" ke teman kalian yang lain. Semoga tulisan yang saya posting kali ini dapat bermanfaat untuk kalian semua.
Dikutip dari : Kaskus
Dalam
artikel sepanjang enam halaman garapan sosialis Joel Stein itu
dituangkan banyak fakta yang menjelaskan mengapa orang muda yang lahir
antara tahun 1980 hingga 2000, bisa jadi masalah sekaligus “dinamika
baru” bagi perkembangan dunia. Golongan generasi ini disebut sebagai
millenial.
Dijelaskan, karakter generasi millenial yang paling nampak adalah malas, narsistis dan penuh gengsi, dan cenderung tidak mandiri. Setelah baca rampung artikel ini, saya berpikir bahwa Indonesia punya semua karakter generasi millenial. Stein menggarisbawahi kesimpulan bahwa dengan segala macam sifat kecintaan berlebihan terhadap diri sendiri, abai terhadap informasi-informasi signifikan dan terlalu banyak mengumbar hal-hal yang tidak relevan di internet, generasi millenial akan jadi penanda baru dalam sejarah peradaban. “Millenial tidak mencoba mengambil alih perbaikan dan pengembangan kehidupan, mereka bertumbuh sendiri tanpa perkembangan itu,” tulis Stein.
Dijelaskan, karakter generasi millenial yang paling nampak adalah malas, narsistis dan penuh gengsi, dan cenderung tidak mandiri. Setelah baca rampung artikel ini, saya berpikir bahwa Indonesia punya semua karakter generasi millenial. Stein menggarisbawahi kesimpulan bahwa dengan segala macam sifat kecintaan berlebihan terhadap diri sendiri, abai terhadap informasi-informasi signifikan dan terlalu banyak mengumbar hal-hal yang tidak relevan di internet, generasi millenial akan jadi penanda baru dalam sejarah peradaban. “Millenial tidak mencoba mengambil alih perbaikan dan pengembangan kehidupan, mereka bertumbuh sendiri tanpa perkembangan itu,” tulis Stein.
bagian ke-2
Saya mudah sekali melihat diri saya sendiri di cermin sebagai bagian
dari generasi millenial dengan beberapa karakter yang masuk akal. Saya
punya Twitter, pernah aktif di Facebook, menggemari fitur obrolan dan
berbagi foto, sering mengeluh, malas untuk hal-hal yang sebenarnya baik,
dan sangat berat untuk tidak mengikuti tren pakaian ataupun pemilihan
gadget. Saya bahkan (di beberapa kasus) tidak tahu mengapa sebetulnya
saya memiliki barang ini dan barang itu. Saya menghabiskan banyak uang
untuk hal-hal yang tidak saya perlukan.
Akan tetapi saya tidak sepenuhnya menyalahkan diri sendiri. Pendapat yang membanding-bandingkan “generasi millenial” dengan generasi Oprah Winfrey, Jennifer Lopez hingga Agnes Monica di Indonesia menurut saya hanya sebuah tolok ukur untuk melihat sejauh mana peradaban (dengan revolusi arus informasinya) membentuk kecenderungan sosial kaum muda.
Saya masih senang menikmati jalan-jalan di kawasan Malioboro Yogyakarta di sore hari, saat orang-orang berkumpul di titik-titik keramaian. Memang narsisitas adalah hal yang paling kelihatan, jika saya mengingat masa kecil saya ketika kamera digital masih menjadi visi. Saya memang merindukan masa-masa saat teman-teman jalan-jalan menggenggam keranjang berisi jajanan untuk dijual dan bukannya ponsel berkamera. Di Yogyakarta, sebagai kota dinamis yang lebih dari separuh aktivitasnya melibatkan kaum muda, saya mudah saja menyimpulkan bahwa generasi 1990-an Indonesia membenarkan semua teori di atas.
Akan tetapi saya tidak sepenuhnya menyalahkan diri sendiri. Pendapat yang membanding-bandingkan “generasi millenial” dengan generasi Oprah Winfrey, Jennifer Lopez hingga Agnes Monica di Indonesia menurut saya hanya sebuah tolok ukur untuk melihat sejauh mana peradaban (dengan revolusi arus informasinya) membentuk kecenderungan sosial kaum muda.
Saya masih senang menikmati jalan-jalan di kawasan Malioboro Yogyakarta di sore hari, saat orang-orang berkumpul di titik-titik keramaian. Memang narsisitas adalah hal yang paling kelihatan, jika saya mengingat masa kecil saya ketika kamera digital masih menjadi visi. Saya memang merindukan masa-masa saat teman-teman jalan-jalan menggenggam keranjang berisi jajanan untuk dijual dan bukannya ponsel berkamera. Di Yogyakarta, sebagai kota dinamis yang lebih dari separuh aktivitasnya melibatkan kaum muda, saya mudah saja menyimpulkan bahwa generasi 1990-an Indonesia membenarkan semua teori di atas.
Bagian ke-3
Generasi “aku aku aku” Indonesia terbentuk karena persaingan global yang
dipersenjatai kemajuan teknologi informasi. Jumlah kelas tengah
Indonesia yang kini menyentuh angka 135 juta jiwa membentuk pencitraan
baru bagi kaum muda di lingkungan sosial.
Mei lalu saya berbicara dengan Dr. Neila Ramdhani, dosen Psikologi UGM yang terlibat dalam riset pengaruh internet terhadap anak dan remaja. Ia berpendapat bahwa kecenderungan remaja saat ini mengikuti perkembangan teknologi, bukan didasari pada pengertian mereka terhadap dinamika informasi apalagi kemajuan teknologi itu sendiri. Saat seorang remaja SMA membeli iPhone, itu adalah karena dorongan eksternal, dan bukan pemahamannya sendiri terhadap perangkat yang digunakan. “Gadget di zaman sekarang bisa menjadi alat tawar yang kuat untuk mendapatkan posisi sosial,” jelasnya.
Seseorang dari kalangan bawah bahkan bisa merasa menjadi bagian dari kelas tengah bahkan atas ketika mereka memakai semua alat tawar yang dimaksud: pakaian, dandanan, kendaraan, ponsel, dsb. Walaupun itu berpura-pura. Bentuk pencitraan yang tidak terkontrol penuh membawa pada publisitas yang tidak seimbang.
Generasi “aku aku aku” dinilai sebagai pemalas dan sangat bergantung, cenderung tidak mandiri apalagi independen. Gemar memperlihatkan kemewahan yang bukan hasil kerja keras mereka alias pemberian orang tua. Mendambakan hasil tapi kurang menghargai proses. Mereka senang orang-orang mengetahui apa yang mereka lakukan dari bangun tidur sampai tidur lagi karena menganggap Twitter memberi kesempatan untuk itu. Sekelompok mahasiswa yang baru lulus mencari pekerjaan di sana sini atau mengikuti Job Fair dan sebagian dari mereka tidak tahu apa yang benar-benar mereka inginkan untuk perbaikan hidup. Pengalaman harian mereka yang lebih banyak menghabiskan waktu menonton reality show komedi percintaan di televisi atau membaca buku-buku hiburan menjadi pengalihan yang kuat dari pilihan hidup yang seharusnya sudah bisa ditentukan sejak usia 20.
Generasi sekarang abai terhadap hal-hal yang di luar minat mereka, atau di luar tren yang mereka ikuti. Generasi ini selalu mendambakan karir cemerlang di perusahaan besar setelah wisuda tetapi mereka kebingungan saat ditanya “apa yang bisa kau lakukan untuk membuat perubahan?” Saat mendapatkan karir baik, mereka tetap memoles diri karena mempercayai bahwa jenis pekerjaan masa kini masih terpisah-pisah dalam kasta.
Mei lalu saya berbicara dengan Dr. Neila Ramdhani, dosen Psikologi UGM yang terlibat dalam riset pengaruh internet terhadap anak dan remaja. Ia berpendapat bahwa kecenderungan remaja saat ini mengikuti perkembangan teknologi, bukan didasari pada pengertian mereka terhadap dinamika informasi apalagi kemajuan teknologi itu sendiri. Saat seorang remaja SMA membeli iPhone, itu adalah karena dorongan eksternal, dan bukan pemahamannya sendiri terhadap perangkat yang digunakan. “Gadget di zaman sekarang bisa menjadi alat tawar yang kuat untuk mendapatkan posisi sosial,” jelasnya.
Seseorang dari kalangan bawah bahkan bisa merasa menjadi bagian dari kelas tengah bahkan atas ketika mereka memakai semua alat tawar yang dimaksud: pakaian, dandanan, kendaraan, ponsel, dsb. Walaupun itu berpura-pura. Bentuk pencitraan yang tidak terkontrol penuh membawa pada publisitas yang tidak seimbang.
Generasi “aku aku aku” dinilai sebagai pemalas dan sangat bergantung, cenderung tidak mandiri apalagi independen. Gemar memperlihatkan kemewahan yang bukan hasil kerja keras mereka alias pemberian orang tua. Mendambakan hasil tapi kurang menghargai proses. Mereka senang orang-orang mengetahui apa yang mereka lakukan dari bangun tidur sampai tidur lagi karena menganggap Twitter memberi kesempatan untuk itu. Sekelompok mahasiswa yang baru lulus mencari pekerjaan di sana sini atau mengikuti Job Fair dan sebagian dari mereka tidak tahu apa yang benar-benar mereka inginkan untuk perbaikan hidup. Pengalaman harian mereka yang lebih banyak menghabiskan waktu menonton reality show komedi percintaan di televisi atau membaca buku-buku hiburan menjadi pengalihan yang kuat dari pilihan hidup yang seharusnya sudah bisa ditentukan sejak usia 20.
Generasi sekarang abai terhadap hal-hal yang di luar minat mereka, atau di luar tren yang mereka ikuti. Generasi ini selalu mendambakan karir cemerlang di perusahaan besar setelah wisuda tetapi mereka kebingungan saat ditanya “apa yang bisa kau lakukan untuk membuat perubahan?” Saat mendapatkan karir baik, mereka tetap memoles diri karena mempercayai bahwa jenis pekerjaan masa kini masih terpisah-pisah dalam kasta.
Bagian Ke-4
Pe-de vs. narsisitas
Sekitar tahun 1970-an para ilmuwan dunia mempelajari pengarauh pengembangan kepercayaan diri bagi anak, yang di Amerika kemudian dikenal sebagai self-esteem, tingkat keempat dari lima tingkatan di teori Piramida Maslow. Kepercayaan diri atau yang di Indonesia sering disebut pe-de benar-benar jadi barang penting untuk diperkenalkan sebagai karakter moral seorang anak sejak lahir. Hanya saja dalam perkembangannya, kepercayaan diri ini menjelma menjadi tak terkendali.
Generasi millenial sering kali mengaku kepercayaan diri mereka terbentuk utuh, akan tetapi sulit membedakan pede dengan narsistis. Percaya diri bukanlah memfoto diri sendiri di depan cermin kamar mandi mal ataupun memasang foto di layar ponsel. Percaya diri bukanlah tampil gaya penuh warna di forum publik yang dihadiri oleh orang-orang penting dan terdidik. Kecenderungan keliru mengartikan narsistis sebagai percaya diri akan terlihat lucu, karena orang-orang dari generasi sebelum kita ini akan menemukan sebuah fenomena “transisi teori” yang mengejutkan. Pemaknaan terhadap “kepercayaan diri” justru hilang saat anak-anak muda dengan penampilan necis diminta berpidato di forum publik, kemudian terbata-bata.
Perhatikan saja. Banyak anak muda, dari remaja hingga usia 30, terlihat ingin tampil di publik secara visual. Mereka ingin jadi pusat perhatian akan tetapi enggan terlibat dalam publisitas nyata. Suka diperhatikan tapi tidak menunjukkan kepedulian. Narsisitas membawa sekelompok orang ceria dan warna-warni bergabung dengan kelompok lain yang punya kecenderungan dandanan sama, atau selera obrolan yang sama. Uniknya, tingkat kesetiaan dalam kelompok narsistis ternyata besar dan relatif tak bisa disaingi, sebagaimana diuraikan dalam buku Akar Kekerasan - Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia tulisan Erich Fromm. Lingkungan sosial jalanan memberi cap “gaul” tapi tidak mengakui keterlibatan anak-anak muda ini dalam fungsi lingkungan yang sebenarnya.
Bagian Ke-5
Beruntungnya, kecenderungan kelompok muda Millenial untuk berkelompok
dan bergaul lebih luas memberi harapan bagi penyelesaian masalah-masalah
sosial lainnya. Walaupun tingkat abai masyarakat meningkat, kelompok
generasi “aku” tetap mempercayai bahwa mereka bisa melakukan sesuatu
saat mereka hidup serius setelah usia 30. Ungkapan “bagaimana nantinya
saja” kiranya akan menyelamatkan pembangunan bangsa yang nantinya akan
dilakoni oleh muda-mudi yang saat ini masih bergaul ke sana ke mari.
Bukti bahwa saat ini banyak instansi pemerintah memanfaatkan aktivitas
kaum muda guna menuntaskan program-program berkelanjutan menjadi gejala
yang menjanjikan. Tetap ada banyak ruang bagi muda-mudi yang mau
berpikir relevan dan memiliki visi bagi pembangunan.
Generasi “aku aku aku” ala Millenial lahir setelah generasi yang di Amerika disebut sebagai Generasi X. Pendiri Facebook Mark Zuckerburg dan megabintang Lady Gaga jadi penanda penting bagi Millenial dunia, mengakhiri kejayaan generasi sebelumnya ala Warren Buffet dan Jennifer Lopez. Akan tetapi di Indonesia, tampaknya perubahan kejayaan antar-generasi ini belum akan terjadi dalam waktu yang dekat. Generasi X Indonesia setingkat aktris senior Jajang C. Noer, menteri perdagangan Gita Wirjawan atau sejarawan J.J. Rizal masih akan dipertahankan guna menyelamatkan peradaban bangsa. Jujur saja itu masuk akal, karena generasi Millenial kita masih belum muncul ke permukaan.
Generasi “aku aku aku” ala Millenial lahir setelah generasi yang di Amerika disebut sebagai Generasi X. Pendiri Facebook Mark Zuckerburg dan megabintang Lady Gaga jadi penanda penting bagi Millenial dunia, mengakhiri kejayaan generasi sebelumnya ala Warren Buffet dan Jennifer Lopez. Akan tetapi di Indonesia, tampaknya perubahan kejayaan antar-generasi ini belum akan terjadi dalam waktu yang dekat. Generasi X Indonesia setingkat aktris senior Jajang C. Noer, menteri perdagangan Gita Wirjawan atau sejarawan J.J. Rizal masih akan dipertahankan guna menyelamatkan peradaban bangsa. Jujur saja itu masuk akal, karena generasi Millenial kita masih belum muncul ke permukaan.
Kita sebenarnya tidak bisa menelan secara mentah-mentah tulisan diatas. Tetap kita harus menyaringnya mana yang baik dan buruk. Mungkin yang diungkapkan pada tulisan diatas terlalu memandang negatif kehidupan jejaring sosial, tetapi kalau menurut saya pribadi asalkan digunakan dengan positif itu bisa juga memberikan dampak positif juga untuk kehidupan.
Mungkin itu saja sedikit yang bisa tambahkan, kalau anda berkenan utnuk menambahkan silahkan bisa menambahkan dikolom komentar dibawah. Jangan Lupa "like" ataupun "share" ya.